Rabu, 28 November 2012

Muzaraah & Muzaqah


1.MUZARA’AH
A. Definisi muzara’ah
 1.Muzaraah menurut bahasa :
            Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, pertama adalah tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah al-hadzar (modal). Makna yang pertama adalah makna majas dan makna yang kedua ialah makna hakiki.[1]Al-Muzara’ah menurut bahasa adalah muamalah terhadap tanah dengan (imbalan) sebagian apa yang dihasilkan darinya”.[2]Sedangkan yang dimaksud di sini adalah memberikan tanah kepada orang yang akan menggarapnya dengan imbalan ia memperoleh setengah dari hasilnya atau yang sejenisnya.
2.Muzaraah menurut istilah :
            Menurut istilah muzara’ah didefiniskan oleh para ulama seperti yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, yang dikutip oleh Hendi Suhendi adalah sebagai berikut:
·         Menurut Hanafiah muzara’ah ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.
·         Menurut Hambaliah muzara’ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.
·         Menurut al-Syafi’i berpendapat bahwa muzara’ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.
·         Menurut Sulaiman Rasyid, muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.



             Jadi muzara’ah menurut bahasa berarti muamalah atas tanah dengan sebagian yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah muzara’ah berarti kerjasama antara pemilik lahan dengan petani penggarap dimana pemilik lahan memberikan tanah kepada petani untuk digarap agar dia mendapatkan bagian dari hasil tanamannya. Misalnya seperdua, sepertiga, lebih banyak atau lebiih sedikit daripada itu.

B. Dasar hukum muzara’ah
    Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه )
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim)[3]

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ
Artinya:“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.(Hadits Riwayat Bukhari)[4]
Dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas, bahwa bagi hasil dengan sistem muzara’ah itu dibolehkan.

C. Rukun dan syarat muzara’ah
           Menurut Hanafiah rukun muzara’ah  ialah “akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam”.[5]


Menurut jumhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:[6]
1.      Pemilik tanah
2.      Petani penggarap
3.      Objek al-muzaraah
4.      Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan
Sementara syarat-syaratnya sebagai berikut:[7]
  1.        Syarat bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2.      Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa                                          saja yang ditanam.
3.      Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman, yaitu bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya), hasil adalah milik bersama.
4.      Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi tanah dan batas    tanah.
5.       Hal yang berkaitan dengan waktu dan syarat-syaratnya.
6.       Hal yang berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam muzara’ah.

D. Dampak dari sistem muzara’ah
          Diterapkannya bagi hasil sistem muzara’ah berdampak pada sektor pertumbuhan sosial ekonomi, seperti:
1.      Adanya rasa saling tolong-menolong atau saling membutuhkan antara pihak-pihak yang bekerjasama.
2.      Dapat menambah atau meningkatkan penghasilan atau ekonomi petani penggarap maupun pemilik tanah.
3.      Dapat mengurangi pengangguran.
4.      Meningkatkan produksi pertanian dalam negeri.
5.      Dapat mendorong pengembangan sektor riil yang menopang pertumbuhan ekonomi secara makro.
E. Berakhirnya Muzara’ah
          Muzara’ah berakhir karena beberapa hal sebagai berikut:[8]
1.   Jika pekerja melarikan diri, dalam kasus ini pemilik tanah boleh membatalkan transaksi berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya sebagai transaksi boleh (tidak mengikat). Jika berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya transaksi yang mengikat, seorang hakim memperkerjakan orang lain yang menggantikannya.
2.   Pekerja tidak mampu bekerja. Dalam hal ini, pemilik lahan boleh memperkerjakan orang lain yang menggantikannya dan upah menjadi haknya karena ia mengerjakan pekerjaan.
3.   Jika salah satu dari pihak meninggal dunia atau gila, berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya sebagai transaksi yang mengikat, maka ahli waris atau walinya yang menggantikan posisinya.
4.   Adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk mengakhiri dengan kerelaan.




2.MUSAQAH
A.Definisi Musaqah
1.Musaqah menurut bahasa:
             Musaqah itu berasal dari kata al-saqa yang artinya seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya) atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemashlahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang di urus.
2.Musaqah  menurut istilah:
“Suatu akad penyerahan pepohonan kepada orang yang mau menggarapnya dengan ketentuan hasil buah-buahan dibagi di antara mereka berdua.”
Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan .Sebagai imbalan ,si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.[9]

B. Dasar Hukum Musaqah

           Ibnu Rusyd dalam Bidayatul mujtahid-nya menuliskan, Jumhur ulama-yakni imam Malik, ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan (dua orang terakhir ini adalah pengikut Abu Hanifah) serta Ahmad dan Dawud-memegang kebolehan bagi hasil. Menurut mereka, bagi hasil ini dikecualikan dari sebuah hadits yang melarang menjual sesuatu yang belum terjadi dan sewa-menyewa yang tidak jelas.
Mereka berpegangan pada hadits shaahih dari Ibnu Umar r.a yang berbunyi:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم رفع ال يهود خيبر نخل خيبر وارضنا على ان يعملوها من اموالهم ولرسولله صلى الله عليه وسلم شطر ثمرها (اخرجه البخاري ومسلم)
“Rasulullah menyerahkan kepada orang-orang yahudi Khaibar pohon kurma dan tanah khaibar dengaan syarat mereka menggarapnya dari harta mereka, dan bagi Rasulullah adalah separuh dari buahnya” (HR. Bukhari-Muslim).


Dalam satu riwayat juga disebutkan:
انه صلى الله عليه وسلم سا قاهم على نصف ما تخرجه الرض والثمرة (اخرجه البخاري ومسلم)
“Rasulullah saw. Mengadakan transaksi muusaqah dengan mereka (Yahudi Khaibar) atas separuh dari hasil tanah dan buah”(HR. Bukhari-Muslim).
            Musaqah menurut Hanfiah sama dengan muzaraah,baik hukum maupun syarat-syaratnya.Menurut Imam Abu Hanifah dan Zufar,musaqah dengan imbalan yang di ambil dari sebagian hasil yang diperolehnya,hukumnya batal karena itu termasuk akad sewa-menyewa yang sewanya dibayar dari hasilnya,dan hal tersebut dilarang oleh syara’.Sebagaimana disebutkan dalam hadist nabi dari nafi’ dari Khadij bahwa nabi saw bersabda :
 “Barangsiapa yang memilki sebidang tanah,maka hendaklah dia menanaminya,dan janganlah ia menyewakan dengan sepertiga dan tidak pula seperempat dan juga tidak dengan makanan yang disebutkan.”(Mutaffaq alahi)[10]
Menurut Abu Bakar Yusuf dan Muhammad bin Hasan serta jumhur ulama (Malik.Syafi’I,Ahmad),musaqah dibolehkan dengan beberapa syarat.Pendapat ini didasarkan pada hadist nabi SAW :
“Dari Ibnu Umar Nabi SAW bekerja sama dengan penduduk khaibar dengan imbalan separuh dari hasil yang diperoleh baik berupa buah-buahan maupun pepohonan.”(HR.Jamaah)[11]

C. Rukun dan Syarat Musaqah
            Menurut Hanafiah rukun musaqah adalah ijab dan qobul.Menurut Malikiyah,akad musaqah lazim dengan adanya lafadz ijab-qobul.Sedangkan menurut Hanbaliah sama dengan muzaraah,tidak perlu ijab-qobul dengan lafal,melainkan cukup dengan memulai penggarapan secara lansung.
   Jumhur Ulama menetapkan bahwa rukun musaqah ada lima, yaitu berikut ini :
1.    Dua orang yang akad (al-aqidani)
Al-aqidani disyaratkan harus baligh dan berakal.
2.   Objek musaqah


Ulama Hanafiyah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musyaqah adalah tumbuh-tumbuhan, seperti kacang, pohon yang berbuah dan memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain, dengan dua syarat:
a. Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikan
b. Akad ditentukan dengan waktu tertentu
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musyaqah dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah hanya dapat dilakukan pada kurma dan anggur saja. Kurma didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw terhadap orang Khaibar, sedangkan anggur hampir sama hukumnya dengan kurma bila ditinjau dari segi wajib zakatnya. Akan tetapi, madzhab qadim membolehkan semua jenis pepohonan.
3.   Buah
Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
4.   Pekerjaan
Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.
Ulama mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal berbuah dan kapan minimal berbuah.
Ulama Hanafiyah tidak memberikan batasan waktu, baik dalam muzara’ah maupun musyaqah sebab Rasulullah saw pun tidak memberikan batasan ketika bermuamalah dengan orang khaibar.
5.   Sighat
Menurut Ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqah sebab berlainan akad. Adapun Ulama Hanabilah membolehkannya sebab yang terpenting adalah maksudnya.



Syarat-Syarat Musaqah :
1.       Kecakapan aqidain(pemilik kebun dan penggarap).
2.       Pohon yang dimusaqahkan dapat diketahui dengan melihat atau menerangkan sifat – sifat yang tidak berbeda dengan kenyataannya. Akad dinyatakan tidak sah apabila tidak diketahui dengan jelas.
3.      Jangka waktu yang dibutuhkan diketahui dengan jelas hal itu merupakan musaqah akad lazim (keharusan) yang menyerupai akad sewa – menyewa. Dengan kejelasan ini maka tidak dapat unsur ghoror. Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa penjelasan jangka waktu bukan syarat musaqah tetapi itu disunahkan.
Menurut kalangan madzhab Hanafi apabila jangka waktu musaqah telah berakhir sebelum buahnya matang maka pohon itu wajib dibiarkan kepada pihak penggarap, agar ia tetap menggarap hingga pohon tersebut berbuah matang.
4.      Akad harus dilakukan sebelum buah tampak, karena dengan keadaan seperti itu, pohon memerlukan penggarapan. Namun apabila terklihat hasilnya, menurut sebagian ahli fiqh tidak dibolehkan musaqah karena tidak membutuhkan penggarapan walaupun tetap dilakukan maka namanya ijarah (sewa – menyewa) bukan lagi musaqah. Ada ulama yang membolehkannya.
5.      imbalan yang diterima oleh penggarap berupa buah diketahui dengan jelas misalnya separuh atau sepertiga. Jika dalam perjanjian ini syaratkan untuk penggarap atau pemilik pohon mengambil hasil dari pohon – pohon tertentu saja, atau keadaan tertentu maka musaqah tidak sah.

D.Hikmah Musaqah
1.      Menghilangkan bahaya kefaqiran dan kemiskinan dan dengan demikian terpenuhi segala kekurangan dan kebutuhan.
2.      Terciptanya saling memberi manfaat antara sesama manusia.
3.      Bagi pemilik kebun sudah tentu pepohonannya akan terpelihara dari kerusakan dan akan tumbuh subur karena dirawat.



E.Berakhirnya Akad Musaqah
Menurut para ulama fiqh berakhirnya akad al-musaqah itu apabila :
1.   Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis;
2.   Salah satu pihak meninggal dunia;
3.   Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
 Dalam udzur disini para ulama berbeda pendapat tentang apakah akad al-musaqah itu dapat   diwarisi atau tidak :
Ulama Malikiyah : bahwa al-musaqah adalah akad yang boleh diwarisi, jika salah satunya meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada udzur dari pihak petani.
Ulama Syafi’iyah : bahwa akad al-musaqah tidak boleh dibatalkan meskipun ada udzur, dan apabila petani penggarap mempunyai halangan, maka wajib petani penggarap itu menunjuk salah seorang untuk melanjutkan pekerjaan itu.
Ulama Hanabilah : bahwa akad al-musaqah sama dengan akad al-muzara’ah, yaitu akad yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Maka dari itu masing-masing pihak boleh membatalkan akad itu. Jika pembatalan itu dilakukan setelah pohon berbuah, dan buah itu dibagi dua antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang telah ada.

F. Perbedaan muzaraah dan musaqah
         Wahbah az-zuhaili merumuskan perbedaan antara Musaqah dan Muzaraah menjadi empat, yaitu:
·         Dalam musaqah, apabila salah satu dari ‘aqidain tidak berkenan untuk meneruskan akad, maka ia boleh dipaksa (untuk meneruskan akad-pen). karena hal itu tidak akan membahayakan (terhadap kebun-pen) disisa akadnya. Berbeda dengan muzaraah, apabila pemilik biji memutuskan akad sebelum biji ditanam, maka ia tidak boleh dipaksa meneruskan. Lebih dari itu, akad musaqah adalah akad yang lazim sedangkan muzaraah adalah akad ghairu lazim. Muzaraah tidak lazim kecuali bijinya sudah ditanam.
·         Apabila masa musaqah sudah habis, maka akad tetap berlangsung tanpa upah, dan penggarap menunaikan pekerjaanya kepada pemilik kebun tanpa upah. Sedangkan dalam muzaraah penggarap harus meneruskan akadnya dengan ujrah misal, karena bolehnya menyewakan tanah dan menggarapnya pada muzaraah.
·         Jika pohon diminta oleh selain pemilik tanah, penggarap diberi upah. Sedangkan dalam muzaraah, jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.
·         Dalam musaqah lebih baik (istihsan) jika tidak disebutkan masa akadnya, cukup hanya dengan mengetahui waktunya (waktu berbuah-pen) menurut adat. Berbeda dengan menanam, karena waktu panennya bisa lebih awal juga bisa terlambat dari perkiraan. Sedangkan dalam muzaraah, hal itu justru disyaratkan menurut asal madzhab hanafi. Ulama lain tidak mensyaraatkan hal ini.

G.Aplikasi Perhitungan dan Pembagian Hasil

Dalam kondisi masyarakat sekarang dan yang akan datang, pembagian hasil seperti itu tentunya sangat tidak memungkinkan, sebab kalau pembagian hasil tersebut hanya diserahkan kepada kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap tanah, kemungkinan besar pihak penggarap akan dirugikan, sebab penggarap berada di posisi yang lemah, karena sangat tergantung kepada pemilik tanah, sebagaimana kita ketahui semakin hari jumlah tanah pertanian semakin berkurang dan disisi lain jumlah petani penggarap semangkin bertambah banyak jumlahnya. Dari sini maka akan terjadi persaingan antara sesama petani penggarap, jadi pengambilan bagi hasil yang tersebut dapat menguntungkan pemilik tanah.
          Untuk itu pemakalah mengusulkan supaya tidak terjadi diskriminasi terhadap petani penggarap atau sebaliknya dan tidak terjadinya manipulasi dari hasil yang diperoleh oleh petani penggarap terhadap pemilik tanah atau supaya tidak menimbulkan pertentangan antara petani penggarap dengan pemilik lahan ada baiknya kesepakatan itu dilandasi dengan prinsip keadilan, kejujuran kepercayaan, dan aturan-aturan teknis maupun non teknis baik mekanisme bagi hasil yang mengikat yang diatur oleh pemerintah. Keadilan maksudnya disini adalah antara petani pengggarap dengan pemilik lahan tidak merasa keberatan dan dirugikan baik dari segi pengelolaan maupun dari segi keuntungan bagi hasil. Sedangkan kejujuran disini dimana  adanya keterbukaan cara pengelolaan, jenis tanaman yang ditanam, dan jumlah hasil yang didapat, serta kepercayaan artinya tidak saling mencurigai dan menyalahkan antara kedua belah pihak.
          Sementara aturan yang mengikat khususnya di Indonesia, Pada tanggal 7 Januari 1960 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.


Contoh Pembagian Hasil Muzaraah :
 Disuatu Daerah Tingkat II, oleh Bupati/Walikotamadya kepala daerah ditetapkan hasil produksi rata-rata 1 Ha sawah adalah sebesar 1800 kg gabah, ternyata setelah diolah hasil produksi mencapai 3000 kg gabah.
Maka pembagiaanya adalah sebagai berikut:
Untuk penggarap = 1125 kg
Untuk pemilik     = 675 kg
Langkah kedua, adalah pembagian sisa dari hasil produksi rata-rata, yaitu 3000 – 1800 = 1200 kg. Sisanya ini dibagi dengan rumus II.
Hasil Akhir:
Hak Penggarap = 1125 kg + 960 kg = 2085 kg
Hak Pemilik     = 675 kg + 240 kg = 915 kg.
H.Aplikasi Dalam Perbankan Syariah
Aplikasi dalam lembaga keuangan syariah, musaqah merupakan produk khusus yang dikembangkan di sektor pertanian atau agribisnis dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.
Syafi’I Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori ke Praktik menuliskan, ada lima prinsip dasar dalam perbankan syariah. Yaitu: prinsip titipan atau simpanan (depeosito/ al-wadi’ah), jual beli (sale and purchase), sewa (operational lease and financial lease), jasa (fee-based services), dan bagi hasil (profit sharing).
Dalam prinsip dasar yang disebutkan terakhir (bagi hasil) ini, terdapat musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan yang terakhir adalah yang dibahas dalam makalah ini, yaitu musaqah (plantantion management fee based on certaain portion of yield). Dalam konteks ini, lembaga keuangan islam dapat memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang plantation atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen kebun.
Dari semua pendapat ulama mengenai objek musaqah, tentunya yang lebih relevan adalah pendapat yang membolehkan musaqah untuk semua tanaman atau pepohonan baik yaang berbuah ataupun tidak seperti sayur-sayuran. Hal ini dikarenakan jika melihat pendapat ulama yang

membolehkan musaqah hanya sebatas pada kurma dan anggur, maka hal ini akan menyia-nyiakan tanaman yang lain yang juga mempunyai banyak manfaat. Apalagi, tidak semua pemilik kebun yang bisa menggarap kebunnnya sendiri. Disamping itu, banyak juga orang yang mempunyai skill untuk merawat kebun akan tetapi tidak memilki kebun. Dari sinilah, hubungan antara pemilik kebun dan tukang kebun saling melengkapi.
Contoh konkritnya diperbankan adalah ketika seorang nasabah bekerja sama dengan bank yang mengembangkan dananya melalui sektor riil semacam agrobisnis dan perkebunan. Dalam hal ini, bank mencari seseorang atau beberapa pekerja yang dijadikan sebagai tukang kebun yang bertugas merawat, menjaga, dan yang paling inti adalah menyirami kebun tersebut. Ketika kebun tersebut sudah berbuah, maka bank dan tukang kebun berbagi hasil sesuai dengan prosentase yang sudah ditentukan pada awal akad.
 [1] Abdurrahman al-jaziri, Fiqih ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, hlm,1.
 [2] Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Disalin dari kitab: Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, ter. Team Tashfiyah LIPIA, (Jakarta: Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, 2007
 [3] Hussein Khalid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih Muslim, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987), hal 173-174
 [4] Al-Wajis, Ensiklopedi Muslim, Taisirul ‘Alam jilid 3, Shahihul Bukhari
 [5] Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal 15
[6] Haroen Nasreon, Fiqih Muamalah, (Jjakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal 278
[7] Suhendi, Fiqih Muamalah..., hal 158-159.[8] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk, Ensiklopedi Fiqih
Muamalah dalam Pandangan Empat Mazhab, cet-1, (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hal. 310.
 [8] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk, Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan Empat Mazhab, cet-1, (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hal. 310.
 [9] Ahmad asy-Syarbasi,al-Mu’jam al-Iqtisad al-Islami(Beirut:Dar Alamil Kutub,1987).
10]   Wahbah Zuhaili,loc.cit.,Juz 5.
[11] Muhammad bin Ali Asy-Syaukani,Nayl Al-Authar,Juz 6.
 
Daftar pustaka:
Antonio,Muhammad Syafi’i.2001.Bank Syariah dari Teori ke Praktik.Jakarta:Gema Insani dan Tazkia Cendekia.
http://ihtsiqgf.blogspot.com/2010/06/makalah-musaqah-semester-3.html
http://alislamu.c
http://zanikhan.multiply.com/journal/item/698



         

Tidak ada komentar: